Menata Arti Sukses di Dunia Nyata: Pengalaman Pertama Bekerja Setelah Kuliah


Sukses Setelah Lulus Kuliah: Mengubah Standar Sukses

Saya menghabiskan sebagian besar hidup saya mengukur kesuksesan dari nilai-nilai. Setelah lulus kuliah, sulit bagi saya untuk beradaptasi dengan skala pencapaian yang lebih sewenang-wenang. Sekarang, saya tahu bahwa secara teratur memdefinisikan kembali kesuksesan adalah bagian yang diperlukan dari kehidupan yang memuaskan.

Menyadari Potensi Sejak Dini

Ketika saya berusia 7 tahun, saya diidentifikasi sebagai seorang “anak berbakat.” Label itu mengikuti saya dari program pengayaan sekolah dasar hingga kelas AP di sekolah menengah, akhirnya membuat saya mendapatkan gelar dari universitas terkemuka.

Mengubah Cara Mengukur Kesuksesan

Tidaklah mengherankan bahwa saya mengukur nilai saya dalam angka dan huruf sebagai indikator objektif (kebanyakan) dari kesuksesan. Semua orang tahu apa arti dari GPA 4.0 atau nilai A+. Sejak usia dini, saya tahu bahwa saya menginginkan nilai tinggi itu lebih dari apapun.

Fokus saya yang terus menerus untuk mendapatkan nilai tinggi, mendapatkan gelar kepemimpinan, dan mendapatkan pekerjaan tidak datang tanpa pengorbanan. Saya menolak ajakan sosial. Saya memperlakukan tidur seolah itu opsional. Gym? Lupakan saja. Saya pikir ketika saya mendapatkan pekerjaan impian setelah lulus, semuanya akan terasa sepadan. Akhirnya, saya akan mencapai tujuan tertinggi.

Merelakan Standar Masa Lalu

Mulai pekerjaan pasca-kuliah saya berarti menerima umpan balik dalam skala sewenang-wenang—yang segera saya pelajari sering dipengaruhi oleh hubungan, masa kerja, dan jabatan.

GPA saya tidak penting lagi, begitu juga dengan tanda tangan email panjang delapan baris di perguruan tinggi saya. Semua keanggotaan klub dan afiliasi akademik itu tidak relevan lagi. Awalnya saya merasa pahit. Bagaimanapun juga, saya telah bekerja keras, dan sepertinya tidak ada yang berarti.

Melakukan Reframing Pemikiran

Tapi kemudian saya merubah sudut pandang saya: Tidak ada yang penting—tidak ada hal-hal kecil yang penting setidaknya. Nilai neurosains saya yang tidak begitu bagus? Tidur selama tiga kelas puisi jam 8 pagi dalam satu semester? Mengumpulkan esai Bahasa Spanyol terlambat? Tidak ada yang menghalangi saya untuk mengejar tujuan saya.

Realisasi ini sangat membebaskan. Sekarang, saya tahu bahwa kesalahan kecil tidak melampaui konsistensi. Saya tidak perlu mengukur harga diri saya dari jumlah koreksi di atas kertas atau berapa banyak kegiatan ekstrakurikuler yang saya ikuti. Saya bisa memutuskan apa arti kesuksesan bagi saya. Saya bisa memilih apa yang akan saya kejar dan kapan beralih jalur.

Mengenalkan Diri dari Angka yang Dahulu Mengartikan Saya

Pembebasan diri dari angka-angka yang dahulu mengartikan saya berarti saya tidak lagi terikat pada ide “cukup baik” versi orang lain.

Berita Terkait

Sebuah Transformasi: Mengenal Ego Saya

Proyek pertama saya di dunia profesional datang dengan kurva pembelajaran yang tajam. Apa yang akan membuat saya mendapat nilai “A” di kelas-kelas kuliah saya, justru disambut dengan berbagai revisi dan komentar.

Awalnya, saya kecewa dengan performa saya. Saya merasa seperti telah gagal. Saya menyebutkan frustrasi saya secara singkat kepada rekan yang lebih berpengalaman, dan dia memberi saya saran yang luar biasa: “Pisahkan ego Anda dari pekerjaan Anda,” katanya, “dan Anda akan kagum betapa cepatnya Anda berkembang.”

Sebagai seorang kreatif yang bekerja di bidang teknologi, saya harus terbiasa menerima umpan balik dari berbagai pemangku kepentingan. Saya tidak hanya menulis esai untuk seorang profesor lagi. Saya menulis blog dan pos media sosial yang dibaca oleh pelanggan, mitra, dan karyawan. Terkadang, ini berarti pekerjaan saya direview oleh 20 orang atau lebih sebelum disetujui. Hal ini tidak meninggalkan banyak ruang bagi ego yang tidak pantas.

Definisi Sukses Saya saat Ini Tidak Akan Tetap Sama — dan Itu Hal yang Baik

Sukses mungkin berarti mendapat promosi — atau mungkin tidak. Mungkin berarti menemukan passion baru di luar pekerjaan. Mungkin terlihat seperti komitmen pada kesehatan, menjelajahi tempat baru, atau mengunjungi teman dan keluarga. Mencapai tujuan-tujuan ini mungkin tidak membuat saya lebih baik dalam pekerjaan saya, tetapi saya tahu hal itu akan membuat saya menjadi pribadi, teman, dan pasangan yang lebih baik.

Tujuan-tujuan baru saya mungkin terlihat kabur dibandingkan dengan yang lama, dan kemungkinan besar akan berubah seiring dengan kemajuan karier saya. Saya berharap saya tahu bahwa kehidupan setelah sekolah lebih sedikit struktur dan tidak begitu linear.

Meskipun demikian, di dunia modern dengan sorotan media sosial, sulit untuk tidak membandingkan diri saya dengan rekan-rekan sebaya. Beberapa hari, saya merasa tertinggal karena tidak mengejar sekolah pascasarjana, dan terkadang, saya bertanya-tanya apakah saya memilih perguruan tinggi yang tepat atau bahkan kota yang tepat.

Namun, di tengah semua ketidakpastian ini, saya bersyukur atas satu hal yang saya ketahui: Memimpin kehidupan yang memuaskan memerlukan pengertian ulang tentang sukses di berbagai tahapan. Mengubah tujuan saya tidak membuat saya gagal; itu membuat saya manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *